buku personal branding |
"personal branding politik adalah fenomena yang unik"
itulah yang tertulis di halaman awal sekapur sirih dari buku personal branding - dewi haroen. emang sih unik. unik banget malah. contoh aja misalnya barrack obama. bagaimana dia membranding diri dengan kebijakan dan ikatan emosionalnya dengan masyarakat sehingga bisa terpilih kembali menjadi presiden amerika. begitu juga dengan SBY, yang membranding diri sebagai presiden anti korupsi dengan membentuk KPK dalam membantunya memberantas korupsi secara lebih independen. lalu ada juga fenomena jokowi effect, yang membranding diri (sengaja atau tidak) sebagai "capres blusukan".
melihat sedikit lebih dalam mengenai branding di perpolitikan ini, pada dasarnya politik bukanlah hal yang jauh bagi semua manusia. yang namanya politik bukan cuma milik sang caleg, atau bupati atau gubernur atau presiden semata. kita semua tidak bisa terlepas dari yang namanya politik. masa sih?
pengen beli pulsa, gak ada duit, minta sama orang tua dengan sopan santun, itu adalah politik.
bapak-bapak bekerja, pengen beliin anak-istrinya makan, itu adalah politik.
pengemis di jalanan minta-minta duit dengan muka memelas, itu adalah politik.
bahkan, semenjak kita masih kecil sebenarnya kita sudah menjadi seorang politikus yang sangat ulung. contohnya aja, gue dulu pas mau dibeliin mobil-mobilan tamiya, yang buat keluarga gue yang begitu sederhana adalah sebuah mainan mewah, tidak diizinkan oleh bapak. abis ngasitahu kalo itu mobil udah dimiliki sama temen-temen main yang lain, bapak juga belum ngasi. dan akhirnya jurus terakhir, "MENANGIS", dan bapak pun harus rela menyisihkan duit bulanannya untuk membelikan gue mobil tamiya *uhuk...
bukankah itu semua adalah aplikasi langsung dari sebuah kata "politik" dalam kehidupan sehari-hari? ya...bener banget! manusia memang harus berpolitik, karena politik itu pada dasarnya adalah sebuah cara yang dilakukan untuk mendapatkan apa yang diinginkan. terlepas dari caranya itu dengan kebaikan atau kejahatan, politik tetap saja harus kita lakukan.
lalu apa yang menjadikan politik, khususnya di Indonesia, begitu dihinakan? bisa ditebak langsung, karena politik dibranding oleh mereka yang menjabat (sengaja atau tidak sengaja) menjadi hal yang hina. korupsi, kolusi, nepotisme, hura-hura dan meng-kaya-kan diri. namun, walaupun tampak hina seperti itu, pada dasarnya masyarakat rindu akan tokoh parpol yang bisa dekat dengan masyarakat, bisa merangkul semua elemen masyarakat saling membantu, tidak hanya mengurusi dirinya sendiri saja.
personal branding di ranah politik bisa menjadi daerah abu-abu. mana yang dianggap benar, mana yang salah sulit dibedakan. padahal sebenarnya politik itu gak berhubungan dengan kebaikan atau kejahatan seseorang. dalam salah satu pendapatnya, Niccolo Machievalli pernah mengatakan "politics have no relation to moral". abis dipikir-pikir sih bener juga apa katanya, kan yang masuk pertarungan partai politik itu bukan berarti mereka menjadi orang kotor, atau orang hina kan? bukan berarti orang suci, atau orang alim gak boleh masuk partai politik kan? yang menjadikan politik seperti itu adalah perilaku orangnya, bukan politiknya, bukan begitu?
perlu diubah mindset kita soal personal branding (misalnya pada politik pada umumnya lah) karena sejauh ini kita kebanyakan melihat personal branding dari sisi marketing. kita melihat para caleg yang pengen menduduki kursi DPR sana, gencar-gencarnya mempromosikan diri mereka di koran, spanduk, baliho, stiker bahkan sampai kaos bergambar mereka masing-masing. padahal yang lebih penting dalam membranding diri adalah mulai dari "orangnya". dalam bukunya, dewi haroen menulis bahwa branding itu harus berdasarkan bukti nyata, yaitu 3K, karakter, kekuatan dan kompetensi.
baca juga :
personal branding (2) : resensi buku dewi haroen
personal branding (3) : contoh nyata dalam hidup gue
personal branding (2) : resensi buku dewi haroen
personal branding (3) : contoh nyata dalam hidup gue
No comments:
Post a Comment