Pagi ini gue mimpi. Mimpi yang gak biasa. Ibu ulang
tahun. Gue langsung kebangun, entah kenapa malah langsung lihat kalender. 22
maret. Hah? 22 maret? Ibu kan lahir tanggal 31 desember? Mimpi yang sesatkah? Sepertinya
tidak. Ibu tidak benar-benar lahir tanggal 31 desember, karena orang tua zaman
dulu belum terlalu familiar dengan kalender, kebanyakan hanya menandai
kelahirannya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi saat itu. Mungkin saja ibu
memang benar-benar lahir 22 maret, 1955. Tak terasa umurnya telah 59 tahun.
Perjuangannya mendidik anaknya bersama bapak sampai anaknya
besar gini tak bisa gue pungkiri ada yang berhasil sesuai target, ada yang
tidak. Yang berhasil sebut saja dia bisa membesarkan anaknya tanpa bantuan
orang lain. Oh ya, bapak dan ibu gue bercerai ketika gue berumur 7 tahun, yang
paling gue ingat gue sedang kelas 1 SD waktu itu. Yah, sebuah pelajaran buruk
untuk anak-anaknya yang masih berada di bawah masa pengertian. Ibu berhasil
membesarkan kelima anak laki-lakinya sendirian, walaupun terkadang harus
meminta uang sekolah dari bapak yang kini telah menikah dan memiliki 3 anak
dari istri keduanya. Selama belasan tahun dia berjuang sendirian, membanting
tulang. Tak memiliki pekerjaan tak berarti anaknya tidak makan. Bahkan yang
paling gue ingat sampai sekarang, belasan hari harus kami lalui dengan nasi,
air dan garam. Oh ya, tambahan cabe ijo. Waktu itu rasanya sangat berbeda
dengan nasi, air dan garam sekarang. Walapun ditambahkan cabe ijo. Entahlah,
mungkin masa-masa itu memang pantas untuk dikenang.
Ibu membesarkan kelima anaknya dengan penuh kasih
sayang. Sangat penuh kasih sayang. Cerewet dan cepat marah, itulah yang paling
kentara dari sifat ibu kepada kami berlima. Apakah semua orang tua seperti itu?
Terkadang gue berharap semua ibu memiliki sifat seperti itu, dengan begitu
anak-anaknya bisa tetap berada di jalan yang benar.
Namun, dengan secerewet dan sepemarah gitupun, ibu
masih gagal mendidik anaknya. Oke, kita pake istilah sedikit gagal saja. Dari kelima
anaknya, 4 anak laki-lakinya terjerumus di jurang asap tembakau, saudara dekat
narkoba. Mereka rata-rata mulai merokok sejak kelas 2 SMP. Tidak heran sih,
pergaulannya dengan teman sebaya atau terkadang lebih tua membawanya ke arah
yang seperti itu. Masa muda mereka memang lebih banyak diisi dengan kegiatan di
luar sekolah. Pergaulan gubuk yang tidak terkontrol dengan sedikit kaum bukan
perokok membuatnya tidak bisa tidak terjerat. Pergaulan gubuk yang memandang
laki-laki yang bukan perokok adalah banci. Pergaulan gubuk yang menjadikan
rokok sebagai penanda sudah dewasa atau belum.
Mereka awalnya sembunyi-sembunyi untuk merokok. Biasanya
merokok di kokoq (sungai dengan air
alami di tengah kebun atau hutan) karena hampir semuanya masih kecil dan takut
ditahu oleh orang tuanya. Padahal orang tuanya merokok juga, termasuk bapak
gue, tapi tetap melarang anaknya merokok. Hingga ada adegan dimana orang tua
mereka (termasuk ibu-bapak gue) tahu anaknya yang masih remaja merokok, lalu
mereka dimarahi habis-habisan seharian, dan besoknya mereka sudah boleh merokok
di tempat umum bahkan di depan orang tua mereka sendiri. . Begitulah pendidikan
di sana. Aneh memang. Tak heran, jika naluri remaja membuat mereka harus mulai
dengan “coba-coba”.
Yang namanya narkoba, rokok ini, sekali mencoba,
pasti ketagihan. Tidak mau lepas. Kadang mau, tapi tidak ingin. “Rasanya bibir
ini asam dan ngilu kalau gak merokok sehari saja” kata kakaknya gue.
Namun, gue adalah anak terakhir yang paling dimanja
oleh ibu dan bapak. Perhatian berlebih yang terkadang membuat iri keempat kakak
gue yang lainnya. Anak yang bisa membawa ibunya dipanggil ke panggung perpisahan
ketika SMP untuk menerima penghargaan atas prestasi anaknya yang juara umum 1. Anak
yang bisa membawa nama kedua orang tuanya karena prestasi anaknya mendapatkan
nilai ujian nasional SMP se-kabupaten Lombok Timur. Anak yang bisa membuat
bapak, yang telah kurang memperhatikan keluarga lamanya setelah 9 tahun
bercerai, rela meminjamkan uang 1,6 juta di dua orang yang berbeda untuk daftar
ulang karena diterima di SMAN 1 Selong, sekolah favorit di provinsi NTB, dengan
mendapatkan peringkat 1.
Yang paling gue banggain sampe sekarang, kalau
pendidikan mereka berhasil kepada gue untuk ngehindarin yang namanya narkoba. dari
kelima anaknya itu, satu-satunya yang tidak menjadi perokok adalah gue. gue
bukan bermaksud buat sombong, tapi mereka memang sangat peduli terhadap
perkembangan anak-anaknya. Walaupun mereka gak pernah yang namanya ikut seminar
“parenting”, “anti narkoba”, “gizi anak” atau “training motivasi” tapi mereka
bisa membuat anaknya banyak belajar dari kehidupan orang tuanya. Misalnya ibu
yang mengatakan “nak, jangan merokok ya. Merokok itu racun buat kamu. Gak baik
buat kesehatan. Coba liat kakak-kakakmu yang merokok, mereka sering batuk. Cepet
capek. Paru-paru mereka pasti udah gak bagus lagi. Lagian merokok itu
ngabis-ngabisin duit. Mendingan kamu pake buat ngemil”. Ibu juga sangat menjaga
pergaulan gue. dia lebih banyak nyuruh untuk diam di rumah, daripada keluyuran
gak jelas dengan anak-anak nakal lainnya di gubuk gue. walaupun gue tetep aja
main bareng mereka, tapi gak sesering kakak-kakak gue dulu. Ibu juga memasukkan
gue ke tempat les sore, dan ngaji di malam hari biar waktu gue lebih banyak
untuk hal yang bermanfaat sejak kecil. Selain itu, untuk urusan solat dan
bangun pagi, sepertinya manusia paling disiplin di keluarga gue adalah ibu. Bangun
jam 4, masak, dan bangunin gue terus siap-siap solat subuh. Selalu cerewet kalo
gue gak pergi ngaji apalagi gak solat berjamaah di waktu subuh, magrib dan
isya. Waktu itu sih gue ngerasa tertekan banget, namanya anak kecil
dipaksa-paksa gitu kan sering nyebelin. Begitu juga bapak yang kadang-kadang
kalau mampir ke rumahnya (rumah gue dan ibu lumayan jauh dengan rumah bapak dan
istri barunya) bilang “dendek turut ite sik merokok ngene, alur wah ite-ite sik
seleq, wah kedeng. Ente jek bagus-bagus wah isik jaga kesehatan mek” yang
artinya “gak usah iktuin kami yang merokok gini, biarlah kami saja yang seperti
ini, sudah terlanjut. Kamu jaga kesehatan baik-baik ya”.
Kalian yang belum menjadi orang tua (termasuk gue)
pasti gak bisa bayangin kan gimana sakitnya, sedihnya, kecewanya, marahnya dan
frustasinya orang tua jika melihat anak mereka yang telah didik dengan baik,
tekun dan sekuat tenaga tapi masih tetap aja pake narkoba? Betapa besar dosa
anak yang pake narkoba yang membuat orang tua mereka seperti itu? Itulah kenapa
narkoba itu bagaikan pepatah “sekali pake, dua tiga dosa terlampaui”. Jika kalian
termasuk manusia normal, kalian pasti tidak ingin membuat orang tua menjadi
sakit hati bukan?
Gue yakin, mereka-mereka yang merokok, atau pake
narkoba ini, jika diberikan kesempatan untuk kembali di masa lalu dan tidak
mencoba narkoba atau rokok ini, mereka pasti mau. Dan tidak akan menyia-nyiakan
kesempatan itu.
Tapi bagaimanapun, Mereka berdua memang hebat. Pahlawan
anti narkoba pertama dalam hidup gue siapa lagi kalau bukan mereka. Tanpa mereka,
mungkin gue sudah terjerumus ke dunia kegelapan itu. Sungguh, gue bersyukur
banget punya orang tua seperti mereka. Gak kenal lelah, menjaga anak-anaknya
dari pergaulan yang tidak baik. Sepertinya cerewet dan pemarah emang harus
dimiliki oleh yang namanya orang tua ya. Gue berharap kalian yang membaca
tulisan ini memiliki orang yang lebih baik dari orang tua gue, walaupun gue
yakin kalau orang tua gue adalah orang tua terbaik di dunia ini.
Dan sebagai bukti sayang gue ke mereka, gue bakalan
tetep ngejaga hasil didikannya ini. Gue akan berusaha supaya gak terjerumus di
jurang narkotika ini. Gue berharap itu juga terjadi ke kalian semua. Buktikan rasa
sayang kalian ke orang tua dengan tidak merokok apalagi sampai pake narkoba. Karena
gue yakin, mereka bakalan lebih senang melihat kalian tidak menggunakan narkoba
daripada memberikan mereka sesuatu dalam bentuk materi. Yuk sayangi orang tua
kita dengan bersama-sama tidak menggunakan narkoba J
No comments:
Post a Comment